Headlines News :
Home » » TINJAUAN TENTANG PROFESI GURU AGAM ISLAM DI SMK AL-HAMIDY BANYUANYAR

TINJAUAN TENTANG PROFESI GURU AGAM ISLAM DI SMK AL-HAMIDY BANYUANYAR

Written By SMK AL HAMIDY BANYUANYAR on Kamis, 20 Maret 2014 | 21.39.00


A. Tinjauan Tentang Profesi Guru Agama Islam 1. Pengertian Guru Agama Islam Istilah profesi berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris Indonesia (John M. Echols dan Hassan Shadili ; 1996 ; 449), .profession berarti pekerjaan. Arifin (1995 ; 105) dalam buku Kapita Selekta Pendidikan mengemukakan bahwa : Profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus (John M. Echols dan Hassan Shadili ; 1996 ; 449). Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar (2007 ; 45) yang berjudul Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disebutkan pula bahwa : Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Menurut Martinis Yamin (2007 ; 3) profesi mempunyai pengertian : Seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas (Martinis Yamin (2007 ; 3). Jasin Muhammad (dalam Yunus Namsa ; 2007 ; 29), menjelaskan bahwa: Profesi adalah .suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yng berorientasi pada pelayanan yang ahli.. Pengertian profesi ini tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayanan yang ahli (dalam Yunus Namsa ; 2007 ; 29). Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperolah melalui proses pendidikan secara akademis. Dengan demikian, Kunandar (2007 ; 46) mengemukakan profesi guru adalah : Keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna (Kunandar : 2007 ; 46). Adapun mengenai kata .Profesional., Uzer Usman (2006 ; 14-15) memberikan suatu kesimpulan bahwa : Suatu pekerjaan yang bersifat professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata .prifesional. itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan plain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal (Uzer Usman : 2006 ; 14-15). H.A.R. Tilaar (2002 ; 86) menjelaskan pula bahwa : Seorang professional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan (H.A.R. Tilaar : 2002 ; 86). Adapun mengenai pengertian profesionalisme itu sendiri adalah : Suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus (Arifin ; 1995 ; 105). Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya (Kunandar ; 2007 ; 46-47) Sedangkan Oemar Hamalik (2006 ; 27) mengemukakan bahwa : Guru profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikpan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar (Oemar Hamalik : 2006 ; 27). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tertantu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi dan profesional. Dalam kamus Bahasa Indonesia, Peorwadarminta mengatakan bahwa “Guru adalah orang yang kerjanya mengajar, sedangkan guru agama adalah pengajar pendidikan agama (Abuddin Nata : 1997 : 118). Dalam bahasa Arab terdapat berbagai istilah yang berkaitan dengan guru, diantaranya ustadz, muallim, muaddib, murabbi dan syaikh. Sedangkan dalam bahasa Inggris kita menjumpai kata teacher, dan tutor. Kata-kata tersebut secara umum berarti guru. Namun dari segi pemakaiannya terkadang dibedakan. Menurut istilah guru diartikan sebagai : Jabatan bagi seseorang yang tugas pokoknya mengajar pada lembaga pendidikan, baik pada lembaga pendidikan pemerintah (Negeri) maupun lembaga pendidikan swasta (Abuddin Nata : 1997 : 118). Sedangkan menurut Bustami Said, guru agama adalah membina seluruh kemampuan dan sikap yang baik dari siswa sesuai dengan ajaran agama Islam (Bustami Said : 2005 : 73). Hal ini mengingat bahwa guru agama merupakan pelaku utama dari proses kegiatan belajar mengajar. Mengingat betapa luasnya fungsi guru agama ini maka pengawas atau penilik pendidikan agama tidak hanya sekedar bekerja secara rutin, tetapi hendaknya lebih mengarah pada pembinaan profesi guru agama secara lebih teratur dan terarah. Syarat-syarat untuk menjadi guru agama yang baik a. Syarat profesional, yaitu bahwa pekerjaan guru agama adalah suatu profesi tersendiri dalam masyarakat, karenanya pekerjaan guru agama tidak dapat dipegang oleh sembarang orang yang tidak mempunyai kompetensi dan tidak memenuhi syarat profesi. b. Syarat biologis atau kesehatan jasmani, yaitu bahwa pekerjaan guru pada umumnya dan guru agama pada khususnya memerlukan tenaga yang cukup memayahkan, maka guru agama disamping memiliki mental agama yang kuat juga harus memiliki fisik yang sehat agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. c. Syarat psikologis yaitu seorang guru agama harus memiliki jiwa keagamaan yang kuat atau kepribadian yang mantap sesuai dengan ajaran Islam yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku, baik dalam interaksi dengan murid maupun dengan masyarakat, terutama sekali dengan Allah SWT. d. Syarat pedagogis-didaktis, yaitu bahwa seorang guru agama memiliki ilmu pengetahuan agama yang cukup dan keterampilan mendidik, mengajajar yang baik sehingga apa yang disampaikan pada siswanya benar-benar dapat diserap melalui cipta dan karsanya (Bustami Said : 2005 : 73). Disamping itu guru agama adalah motor penggerak pendidikan agama karena itu ia adalah pribadi berakhlak yang dicerminkan di dalam dirinya dengan disiplin tinggi berwibawa, cerdas, gemar belajar, menguasai metode dan memiliki kepemimpinan. Ia harus tekun bekerja memeriksa semua penugasan kepada siswa sekaligus memberikan bimbingan, teguran dan sangsi. Oleh sebab itu orang tua memegang peranan penting dalam pelaksanaan pendidikan agama di rumah. Namun orang tua diharapkan menjadi teladan dalam beribadah dan berakhlak. Bila ada waktu sebaiknya digunakan adanya sholat berjema’ah dengan anak-anak walaupun sehari hanya sekali. Keberhasilan pendidikan agama tidak hanya menjadi tanggung jawab guru agama. Tetapi juga menjadi tanggung jawab semua pihak. Oleh karena itu menjadi tugas semua pihak untuk meningkatkan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah agar moral akhlak manusia Indonesia menjadi modal utama keberhasilan pembangunan memasuki globalisasi (Husni Rahim : 2001 : 42). Hal ini guru agama harus mampu mengadakan korelasi dan kombinasi antara satu metode dengan metode lainnya, sehingga pelajaran dapat berlangsung lebih baik dan lebih berhasil. 2. Kompetensi Guru Agama Kompetensi guru agama adalah kewenangan untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang tertentu di sekolah tempat guru itu mengajar. a. Kewenangan formal Guru agama di lembaga pendidikan diharapkan akan dapat membantu pematangan para siswa dalam hal kepribadian guru, pembekalan mereka dengan berbagai cabang ilmu jiwa yang membantu pemahaman peserta didik, di samping penguasaan materi bidang studi yang akan diajarkan. b. Pemahaman kurikulum Setiap guru agama harus memahami betul kurikulum pendidikan agama di jenjang sekolah tempat ia mengajar dan tahu tentang tujuan pendidikan agama untuk pendidikan tertentu misalnya : 1) Tujuan pendidikan agama Islam untuk sekolah dasar adalah memberikan bekal dasar serta pengalaman besar. 2) Tujuan pendidikan agama Islam di sekolah lanjutan memberikan bekal agama Islam lebih lanjut dalam rangka pengalaman dan penghayatannya dalam kehidupan. 3) Tujuan Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi meningkatkan pengetahuan pemahaman, penghayatan dan pengalaman agama Islam, serta mampu membudayakan diri dan lingkungannya dengan nilai-nilai Islam, disamping dapat mengamankan ilmu dan keterampilannya sesuai dengan nilai-nilai Islam (Zakiyah Darajat : 1995 : 95-96). c. Penguasaan metode pengajaran Metode mengajar adalah sistem penggunaan tehnik di dalam interaksi dan komunikasi antara guru dan siswa dalam program belajar mengajar sebagai proses pendidikan. Metode mengajar mempunyai dua aspek yaitu aspek idial dan aspek teknis. 1) Aspek idial harus diingat bahwa program belajar mengajar adalah sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. 2) Aspek teknis. Terdapat berbagai macam teknis yang dapat digunakan dalam interaksi dan komunikasi antara lain bermain, tanya jawab, ceramah, diskusi, peragaan, eksprimen, kerja kelompok, sosiodrama, karyawisata, dan modul. d. Pemahaman psikologi Pengetahuan guru agama Islam tentang ciri dan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam tahap-tahap perkembangannya, agar guru agama dapat menyajikan pelajaran agama sesuai dengan kebutuhan jiwa peserta didik perlu ditingkatkan (Zakiyah Darajat : 1995 : 97). e. Beberapa hal penting dalam proses belajar mengajar Setiap guru harus memperhatikan keadaan peserta didik diantaranya: 1) kegairahan dan kesediaan belajar 2) membangkitkan minat peserta didik 3) menumbuhkan bakat dan sikap yang baik 4) mengatur proses belajar mengajar 5) men transfer pengaruh belajar di dalam sekolah kepada penerapannya dalam kehidupan di luar sekolah. 6) Hubungan dalam situasi belajar mengajar, manusiawi, kegairahan dan semangat belajar peserta didik sering kali dipengaruhi oleh macam hubungan yang terjadi di antara siswa dan gurunya (Zakiyah Darajat : 1995 : 98). Selain dari pada itu sebagai bahan pertimbangan dan dasar pemilihan metode adalah sebagai berikut : 1) Peryesuaiannya dengan tujuan pendidikan agama. 2) Peryesuaiannya dengan waktu, tempat dan alat tersedia dan tugas guru agama. 3) Penyesesuainnya dengan jenis kegiatan yang tercakup dalam pendidikan agama 4) Menarik perhatian murid. 5) Maksudnya harus dapat dipahami oleh murid. 6) Sesuai dengan kecakapan dan pribadi guru agama yang bersangkutan (Zuhairini dkk : 1997 : 119-120). Guru agama disamping melaksanakan tugas pengajaran, yaitu membagikan pengetahuan keagamaan, ia juga melaksanakan tugas pendidikan dan pembinaan bagi peserta didik, ia membantu pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak, disamping menumbuhkan dan mengembangkan keimanan dan ketaqwaan para peserta didik. Tugas guru agama itu berat, karena di samping membentuk pribadi peserta didik, ia pun harus memperbaiki mana yang kurang baik pada mereka, karena anak didik datang ke sekolah telah membawa berbagai nilai dan pengalaman keagamaan yang diperolehnya dari orang tuanya masing-masing. Selanjutnya pada pasal 31 ayat 3 dan 4 dinyatakan bahwa setiap tenaga pendidikan termasuk di dalamnya guru agama berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian, meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. Berdasarkan Undang-undang tersebut, bahwa profil guru agama disamping harus menampilkan sosok pribadi yang memiliki komitmen terhadap agamanya, yakni sebagai guru yang profesional dan berusaha untuk selalu melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian, serta meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. Menurut Ahmad Tafsir guru pada umumnya mengembalikan citra atau martabat guru itu sendiri yang dianggap rendah, yang disebabkan pandangan rasionalisme, materialisme dan pragmatisme, serta pengaruh dari masyarakat itu sendiri yang telah rusak juga oleh pengaruh pandangan tersebut, dan mereka telah menggunakan pertimbangan yang semata-mata rasional, ekonomis, dan relatif. Dari pendapat di atas menggaris bawahi perlunya guru agama untuk : 1) Memiliki semangat jihad dalam menjalankan profesinya sebagai guru agama atau memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, karena bagai manapun kompetensi profesional yang dimiliki oleh guru agama adalah penting, tetapi yang penting lagi adalah sikap atau etos profesionalisme dari guru agama itu sendiri. 2) Menguasai ilmu-ilmu agama dan wawasan pengembangannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. 3) Menguasai keterampilan untuk membangkitkan minat siswa kepada pemahaman ajaran agama. 4) Siap mengembangkan profesinya yang berkesinambungan (Ahmad Tafsir : 1992 : 86-87). Guru agama harus membina seluruh kemampuan dan sikap-sikap yang baik terhadap murid sesuai ajaran islam. Hal ini berarti bahwa perkembangan sikap dan kepribadian tidak terbatas pelaksanaannya melalui pembinaan di kelas saja, dengan kata lain tugas guru dalam membina murid tidak terbatas pada interaksi belajar mengajar saja. Fungsi sentral guru adalah mendidik, fungsi ini harus sejalan dengan kegiatan mengajar dan membimbing, bahkan dalam setiap pola tingkah laku dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan tersebut guru harus mencatat dan melaporkan kegiatannya sebagai bahan untuk meningkatkan efektifitas kegiatan itu sebagai umpan balik. Guru agama sebagai pemberi bimbingan memiliki dua peranan yaitu membimbing dan mendidik, namun perlu diingat bahwa guru agama memiliki tanggung jawab besar terhadap perkembangan psikologi anak ke arah nilai-nilai keagamaan. sehingga anak termotivasi untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan ajaran islam, melalui kasih sayang seorang guru. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai sebagaimana mestinya. Islam memandang bahwa guru sebagai jabatan yang terhormat, karena guru sebagai orang yang menyampaikan ilmu pengetahuan yang amat berguna bagi manusia. Ilmu adalah cahaya dari Tuhan, dan orang yang menyampaikan ilmu tersebut berarti menyampaikan cahaya Tuhan. Adanya guru yang demikian itu sebenarnya merupakan perpanjangan tangan dari tugas kedua orang tua. Dalam al-Qur’an maupun hadits Rasulullah Saw dengan tegas terlihat bahwa yang wajib mengajar atau mendidik adalah kedua orang tua. Tugas tersebut dilakukan selain karena merupakan tugas dari Allah SWT sebagai kewajibannya, juga karena peran yang harus dimainkan sebagai orang tua. Namun demikian, ilmu pengetahuan saat ini amat berkembang pesat serta keahlian dalam berbagai bidang telah semakin berkembang, dan orang tua semakin sibuk dengan pekerjaannya, maka tugas mendidik dialihkan pada orang lain yang secara khusus dibina dan dilatih untuk melaksanakan tugas sebagai guru. 3. Profesi Keguruan Guru adalah suatu profesi karena ditilik dari ciri-ciri atau syarat suatu profesi jabatan guru telah memenuhi ciri-ciri atau persyaratan sebagai profesi. Jabatan guru bukan hanya menuntut kemampuan spesialisasi keguruan dalam arti menguasai pengetahuan akademik dan kemahiran profesional yang relevan dengan bidang tugasnya sebagai guru tetapi juga tingkat kedewasaan dan tanggungjawab serta kemandirian yang tinggi (independent judgment) dalam mengambil keputusan. Dalam pelaksanaan tugasnya guru memberikan pelayanan kepada masyarakat dan ia terikat pada kode etik guru dan di samping itu juga mempunyai wadah organisasi guru sebagai wahana kerja sama untuk dapat saling membantu dan berusaha meningkatkan kemampuan profesionalnya serta memperjuangkan kesejahteraan para anggotanya. Dari uraian tersebut maka jelaslah bahwa jabatan guru adalah merupakan suatu profesi. Kuntoro (1999:45) menyatakan bahwa : Pekerjaan guru semakin dimengerti seperti halnya profesi kedokteran, hokum dan lain-lain. Pendapat ini didasarkan bahwa guru sekarang semakin dituntut adanya kualifikasi, yakni dituntut untuk lebih tahu akan masalah-masalah penting yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, tahu akan tugas belajar dan mengajar yang efektif dan juga penguasaan yang lebih baik dalam bidang pengetahuan spesialisasi yang diajarkan (Kuntoro : 1999:45). Roestiyah (1992:174) mengemukakan bahwa : Guru diakui sebagai profesi karena: (1) lapangan pekerjaan keguruan atau kependidikan bukan merupakan suatu lapangan kerja rutin yang dapat dilakukan melalui pengulangan-pengulangan atau pembiasan-pembiasan. Lapangan inipun tidak dapat dilaksanakan berdasarkan amatirisme, lebih-lebih coba-coba atau trial and error. Lapangan kerja ini memerlukan perencanaan yang mantap, suatu menagemen yang memperhitungkan komponen-komponen sistemnya, (2) lapangan kerja ini memerlukan dukungan ilmu atau teori yang akan member konsepsi teoritis ilmu kependidikan dengan cabang-cabangnya, (3) lapangan kerja ini memerlukan waktu pendidikan dan latihan yang lama, berupa pendidikan dasar (basic education) untuk taraf sarjana ditambah pendidikan professional (Roestiyah : 1992:174). Sutomo (1998:7) menyatakan bahwa: Guru sebagai suatu profesi dalam melaksanakan tugas mendidik mendasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) subjek didik adalah manusia dengan berbagai potensi yang akan berkembang. Karena pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan menghargai martabat manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi dan perasaan, (2) pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan. Ia tidak dilakukan secara random karenanya ada unsur pendidikan yang menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai baik yang bersifat universal, rasional maupun lokal yang menjadi acuan bagi pelaku pendidikan (guru dan peserta didik), (3) yang dihadapi pendidik adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, maka ada teoriteori pendidikan yang merupakan jawaban atas kerangka hipotesis tentang bagaimana pendidikan harus dilakukan, (4) dalam memandang manusia pendidik bertolak dariasumsi yang positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik inilah yang seharusnya dikembangkan oleh setiap pendidik dalam tugasnya, (5) dalam proses pendidikan hendaknya diciptakan situasi pendidikan yang memungkinkan terjadinya dialog antara pendidik dan peserta didik, (6) tujuan utama pendidikan adalah menjadikan manusia sebagai manusia yang baik, yakni manusia beriman, bertaqwa, berbudi pekerti luhur dan seterusnya, karenanya pendidikan berlangsung sesuai dengan tuntutan masyarakat, (7) bagi guru yang merupakan tenaga profesional di bidang kependidikan dalam kaitannya dengan accountability adalah berakibat menjadi berat (Sutomo : 1998:7). Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu guru dituntut adanya kualifikasi kemampuan yang lebih memadai (Sardiman, 1990:133). Secara garis besar ada tiga tingkatan kualifikasi profesional guru sebagai tenaga profesional kependidikan, yaitu: a. Capable Personal, yaitu guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif. b. Guru sebagai evaluator, maksudnya sebagai tenaga kependidikan yang memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi. Para guru diharapkan memiliki pengetahuan kecakapan dan keterampilan yang tepat terhadap perubahan dan sekaligus merupakan ide pembaharuan yang efektif. c. Guru sebagai developer, yaitu selain menghayati kualifikasi pertama dan kedua dalam tingkatannya sebagai developer guru harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Guru juga harus mampu dan mau melihat jauh ke depan dalam menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai suatu system. Sebagai dari perbedaan individual, konsekuensinya adalah : Guru memerlukan perbedaan dalam hal kualifikasi guru tidak dapat dipisahkan dari sikap dan perilaku guru itu sendiri. Sehubungan dengan hal itu maka perlu ditegaskan bahwa selain faktor-faktor pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan tanggap terhadap ide pembaharuan serta wawasan yang lebih luas sesuai dengan profesinya pada diri guru sebenarnya masih memerlukan persyaratan khusus yang bersifat mental. Persyaratan khusus itu adalah faktor yang menyebabkan seseorang itu merasa senang, karena merasa terpanggil hati nuraninya untuk menjadi seorang pendidik atau guru (Sardiman, 1990:135). Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar tetap memegang peranan penting. Peran guru dalam belajar mengajar belum dapat digantikan oleh berbagai alat bantu mengajar yang semakin canggih itu. Masih terlalu banyak unsur manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi dan kebiasaan yang diharapkan merupakan hasil dari proses belajar mengajar yang tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut (Wijaya dan Rusyan, 1992:23). Guru adalah pihak yang terjun langsung di lapangan yang berperan penting dalam memtranferserangkaian program pendidikan kepada peserta didik melalui proses belajar mengajar dan pada akhir pelajaran diharapkan menghasilkan lulusan yang relevan dengan tuntutan perkembangan jaman. Agar memenuhi harapan pemakai lulusan, guru tentunya perlu memiliki seperangkat kemampuan yang dipersiapkan melalui program LPTK sesuai dengan harapan dan cita-cita bangsa. Oleh karena itulah maka guru dituntut untuk senantiasa meningkatkan pelaksanaan tugas-tugasnya atau mengembangkan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang terus-menerus berkembang secara berkesinambungan karena praksis pendidikan akan terus-menerus terjadi dan unik bagi setiap individu dan masyarakat di dalam situasi dan waktu yang berbeda (Tilaar, 1998:294). Guru juga merupakan jabatan profesional yang bersifat generik yang menuntut peningkatan kecakapan keguruan secara berkesinambungan, integritas dii serta kecakapan keguruannya selalu perlu ditumbuhkembangkan baik atas inisiatif sendiri atau karena dorongan dan bantuan pihak lain (Samana, 1994:15). Sejalan dengan itu Pidarta (1997:28) menyatakan pula bahwa : Profesi guru atau pendidik adalah harus dikembangkan secara terus-menerus sebab para pendidik mengemban misi pengembangan individu manusia dan yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan profesi itu adalah para pendidik itu sendiri, karena di samping bertanggungjawab terhadap diri sendiri juga disebabkan pendidik itu sendiri yang paling tahu kemajuan, kemunduran dan letak kelemahan profesinya (Pidarta : 1997:28). Pengembangan profesi keguruan atau kependidikan merupakan bagian vital dari sistem peningkatan mutu pendidikan (Jalal dan Supardi, 2001:260). Pengembangan profesi guru atau peningkatan profesi guru adalah merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan, sehingga akan berguna dalam menjalankan kewajibannya (Subroto, 1994:141). Sahertian (1994:96) menyatakan dasar filosofis pengembangan profesi guru adalah setiap profesi harus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan menuju kepada otonomi profesi. Inti dari setiap otonomi adalah memiliki kemandirian dan tanggungjawab. Setiap pemilik profesi yang sudah mandiri dan bertanggungjawab harus memberi dan sanggup dimintai pertanggungjawaban. Untuk dapat mencapai sikap profesional seperti itu perlu pemeliharaan dan perwatan yang kontinyu. Tugas tersebut merupakan bidang pembinaan dan profesi pengembangan profesi (Sahertian : 1994:96). Setiap pembinaan dan pengembangan menurut Sahertian (1994:96) adalah berangkat dari asumsi dasar yaitu: (1) perkembangan adalah hasil dari pengaruh faktor eksternal. Orang berangkat dari asumsi bahwa perkembangan terjadi karena pengaruh faktor luar. Kemajuan jiwa dapat berkembang jika ada rangsangan dari luar. Rangsangan dari luar memberi pengaruh terhadap potensi yang ada dalam diri manusia, (2) perkembangan adalah hasil dari faktor internal, (3) pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa dalam jiwa manusia ada kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang, (4) perkembangan adalah hasil dari perpaduan antara faktor eksternal dan factor internal (Sahertian : 1994:96). Semiawan mengisyaratkan bahwa: Untuk menjadi tenaga profesional guru harus meningkatkan dan mengantisipasi berbagai perubahan dan perkembangan, mampu merancang dan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar yang lebih baik (dalam Sutomo : 1998:4). Ahmadi (1999:53) menyatakan bahwa: Untuk menjadi guru yang baik dan menjadi anggota profesi yang baik yaitu selalu menumbuhkembangkan profesinya, maka tidak hanya diperlukan pengetahuan dan keterampilan keguruan yang baik saja, tetapi mutlak perlu adanya mental yang baik pada setiap anggota profesi guru. Dalam hal ini adalah kesadaran dan kemauan untuk menjadi guru yang baik dan sebagai anggota profesi yang baik, yaitu: (1) keyakinan dan kemampuan pendidik, yakni adanya kesadaran dan keyakinan bahwa pendidikan mampu perkembangan anak didik dan mampu menciptakan masyarakat yang lebih di kemudian hari, (2) keyakinan dalam cita-cita demokrasi, yakni yakin bahwa dalam masyarakat yang demokratis setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban untuk turut membangun serta akan mendapat penghargaan sesuai dengan apa yang diberikan menurut kemampuannya, (3) keyakinan akan luhur dan mulianya tugas guru, yakni berkeyakinan bahwa pekerjaan guru merupakan pengabdian kepada masyarakat dan merupakan suatu pengabdian yang luhur yang sukar dinilai dengan perhitungan material (Ahmadi : 1999:53). Keyakinan-keyakinan tersebut di atas adalah merupakan dasar dan pendorong bagi guru untuk berusaha menggunakan segala dan kemampuan yang ada agar dapat menampilkan dirinya sebagai guru yang baik dan anggota profesi yang baik, hal ini disebut sebagai sikap keguruan. Sikap keguruan dalam arti yang luas, mencakup keyakinan yang mendasari dan menimbulkan motivasi internal dan menghasilkan tingkahlaku yang diharapkan, yakni tingkahlaku keguruan (Ahmadi, 1999:54). Jadi sikap yang dimaksud bukan sekedar “attitude” saja melainkan lebih luas lagi yaitu dengan memasukkan “behaviour” ke dalamnya. Tingkahlaku inilah yang merupakan bukti dari sikap dan sifat yang ada pada seorang guru sebagai anggota profesi. Roestiyah (1999:175) menyatakan bahwa: Seorang pendidik yang profesional adalah seorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional yang mampu dan setia mengembangkan profesinya, menjadi anggota organisasi profesional pendidikan, memegang teguh kode etik profesinya, ikut serta di dalam mengkomunikasikan usaha pengembangan profesinya dan bekerjasama dengan profesi yang lain. Dari pendapat ini juga unsur sikap berpengaruh dalam rangka menjadi seorang pendidik yang profesional, yakni dengan sikap guru mengakui dan sadar akan profesinya sehingga senantiasa menumbuhkembangkan profesinya (Roestiyah : 1999:175). Nawawi (1999:27) menyatakan pula bahwa: Profesionalitas itu ditentukan oleh sikap dan cara guru tersebut merealisasi dan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuannya dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehingga selalu relevan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran (Nawawi : 1999:27). Dari berbagai pendapat tersebut di atas tampak ada kaitan erat antara sikap guru terhadap profesi, tugas pendidikan atau sikap keguruannya dengan upaya mengajar yang lebih baik atau pengembangan profesinya. Jadi pengembangan profesi bukan sekedar ditentukan faktor mental seperti sikap terhadap tugas pendidikan adalah juga menentukan. Kinerja guru adalah kemauan guru dengan menggunakan segala kemampuan psikis, sosial dan kekuatan fisiknya untuk mengerjakan tugas-tugasnya dalam rangka mencapai tujuan. Kinerja guru bisa rendah dan bias tinggi. Seorang guru yang memiliki kinerja yang tinggi akan memiliki kemauan yang keras atau kesungguhan hati untuk mengerjakan tugastugasnya sehingga produktivitasnya meningkat, sebaliknya seorang guru yang memiliki kinerja yang rendah akan kurang memiliki kemauan yang keras untuk mengerjakan tugas-tugasnya akibatnya produktivitasnta menurun (Bafadal, 1992:72). Motivasi kinerja yang tinggi dari para guru akan mendorong guru-guru dalam bekerja secara lebih baik dan meningkatkan produktivitasnya maka akan semakin mengembangkan profesionalnya. Guru dalam melakasanakan pekerjaannya sebagai seorang pendidik akan berhadapan langsung dengan peserta didiknya yang memiliki karakteristik beraneka ragam, dan untuk itu guru harus tekun membimbingnya, guru juga dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan dalam rangka mengembangkan profesinya, karena itu guru memerlukan dorongan atau motivasi kinerja yang tinggi dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Dari berbagai uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan praksis pendidikan yang terus berubah maka menuntut guru untuk senantiasa mengembangkan profesinya. Sikap guru terhadap tugas pendidikan dalam diartikan sebagai kesiapan merespons secara konsisten terhadap segala aktivitas dan kewajiban sebagai pendidik, dan motivasi kinerja yaitu kemauan guru dengan menggunakan segala kemampuan psikis, sosial dan kekuatan fisiknya adalah berpengaruh pada upaya pengembangan profesi guru. B. Tinjauan Tentang Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi. Dalam melakukan kegiatan belajar mengajar seorang guru pasti mengetahui apakah kegiatan belajar mengajarnya bersama siswa telah berhasil atau tidak sehingga guru harus melakukan tolak ukur atau ukuran-ukuran yang menunjukkan keberhasilan siswa, kegiatan tersebut disebut evaluasi. Evaluasi merupakan suatu kegiatan akhir untuk mengetahui sejauh mana pekerjaan itu telah mencapai hasil (Bustami Said : 2000 : 97). Sedangkan menurut Ralph Pyler evaluasi adalah: Sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana dalam hal apa dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Sedangkan evaluasi adalah bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai tetapi digunakan untuk membuat keputusan (dalam Suharsimi Arikunto : 1999 : 3). Sedangkan menurut Ahmad Sabri evaluasi adalah: Proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (ketentuan, kegiatan, keputusan berdasarkan criteria tertentu berdasarkan penilaian (Ahmad Sabri : 2006 : 138). Menurut Cece Rahmat evaluasi adalah: Kemampuan siswa untuk mempertimbangkan suatu ide, situasi, nilai, metode berdasarkan suatu aturan tertentu (Cece Rahmat : 1999 : 62). Dalam arti luas evaluasi adalah suatu proses dalam memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan, sesuai dengan pengertian tersebut maka kegiatan evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sengaja direncanakan untuk memperoleh informasi atau data. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi atau penilaian adalah suatu proses akhir dari suatu kegiatan untuk menentukan hasil yang dicapai atas dasar standard tertentu. Dalam pembelajaran yang terjadi dalam sekolah atau khususnya di kelas, guru adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hasil dari proses belajar mengajar. Dengan demikian guru patut dibekali dengan evaluasi sebagai ilmu yang mendukung tugasnya, yakni mengevaluasi hasil belajar siswa. Dalam hal ini guru bertugas mengukur apakah siswa sudah menguasai ilmu yang sudah dipelajari oleh siswa atas bimbingan guru sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. 2. Tujuan Evaluasi Tujuan evaluasi pendidikan ialah untuk mengikuti serta mengetahui tingkatan hasil pendidikan yang sudah dicapai. Hasil pengukuran tersebut dipergunakan untuk menentukan langkah dan cara mendidik selanjutnya, agar hasil akhir yang dicita-citakan dapat tercapai. Pendidik wajib selalu mengikuti dan mengetahui perkembangan anak didiknya dalam usahanya memimpin dan mendewasakannya. 3. Obyek Evaluasi Obyek atau sasaran dalam pelaksanaan evaluasi meliputi unsur-unsur sebagai berikut : a. Input, aspek yang bersifat rohani ini setidak-tidaknya mencakup empat hal yaitu : kemampuan, kepribadian, sikap serta intlegensi. b. Transpormasi, unsur-unsur dalam transpormasi antara lain : kurikulum atau materi, metode dan cara penilaian, sarana pendidikan atau media, sistem administrasi, guru dan personal lainnya. c. Out put, penilaian terhadap lulusan sekolah dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pencapaian atau prestasi belajar siswa selama mengikuti program (Suharsimi Arikunto : 1999 : 20). 4. Jenis-Jenis Evaluasi Evaluasi dibagi menjadi empat jenis antara lain : a. Evaluasi Formatif Berfungsi untuk memperbaiki proses belajar mengajar ke arah yang lebih baik atau memperbaiki progran satuan pembelajaran. Tujuan untuk mengetahui hingga dimana penguasaan siswa tentang bahan yang diajarkan. Aspek-aspek yang dinilai berkenaan dengan hasil kemajuan belajar siswa, meliputi : pengetahuan, keterampilan sikap dan penguasaan terhadap bahan pelajaran yang telah disajikan. b. Evaluasi Sumatif Berfungsi untuk menentukan/nilai siswa setelah mengikuti program pengajaran dalam satu catur wulan, semester, akhir tahun atau akhir dan satu program bahan pengajaran dari satu unit pendidikan. Tujuan : untuk mengetahui taraf hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah menyelesaikan program bahan pengajaran dalam satu catur wulan, semester akhir tahun dan satu program bahan pengajaran dari satu unit pendidikan. Aspek-aspek yang dinilai ialah kemampuan belajar, meliputi : pengetahuan, keterampilan, sikap dan penguasaan siswa tentang materi pelajaran yang sudah diaplikasikan. c. Evaluasi Placement (Penempatan) Berfungsi untuk mengetahui keadaan siswa termasuk keadaan seluruh pribadinya, agar siswa tersebut dapat ditempatkan pada posisinya yang tepat. Tujuan untuk menempatkan siswa pada kedudukan yang sebenarnya, berdasarkan bakat, minat, kemampuan, kesanggupan serta keadaan lainnya. Aspek-aspek yang dinilai, meliputi : keadaan fisik, psikis, bakat, kemampuan/pengetahuan, keterampilan, sikap dan sebagainya. d. Evaluasi Diagnostik Berfungsi untuk mengetahui masalah-masalah apa yang di derita atau yang mengganggu siswa sehingga ia mengalami kesulitan, hambatan atau gangguan ketika mengikuti program tertentu. Tujuan untuk mengatasi/membantu pemecahan kesulitan atau hambatan yang dialami siswa pada waktu mengikuti kegiatan belajar mengajar pada suatu bidang studi atau kesungguhan program pengajaran. Aspek-aspek yang dinilai hasil belajar, latar belakang kehidupan siswa keadaan keluarga lingkungan dan lain sebagainya. Proses pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia, dimana didalamnya terjadi proses membudayakan dan memberadabkan manusia, agar tebentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka diperlukan trasformasi kebudayaan dan peradaban. Sebagai proses dari tranformasi maka dalam proses pendidikan terdapat suatu perbedaan dalam setiap masukan. Masukan dalam proses pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikan yang berbeda, maka untuk memastikan karakteristik dan keunikan siswa yang akan masuk dalam transformasi, diperlukan evaluasi terhadap masukan. Dengan adanya kepastian tentang karakteristik dan keunikan siswa, akan memudahkan dalam menentukan rancangan program dan proses pembudayaan serta pemberadaban siswa yang menjadi masukan. Transformasi dalam proses pendidikan adalah proses untuk membudayakan dan memberadabkan siswa, yang di dalam proses tersebut terdapat beberapa komponen yaitu, pendidik dan personal lainnya, isi pendidikan, tehnik, sistem evaluasi, sarana pendidikan dan sistem administrasi. Evaluasi tersebut berfungsi ntuk mengetahui efisiensi dan efektifitas transformasi dalam proses pendidikan (Dimjati, Mudjiono : 1999 : 192). Keluaran dalam proses pendidikan adalah siswa yang semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan tujuan yang ditetapkan untuk mengetahui dan menetepkan apakah siswa telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan lembaga pendidikan atau belum, maka diperlukan kegiatan evaluasi. Umpan balik dalam proses pendidikan adalah segala informasi yang berhasil diperoleh selama proses pendidikan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan masukan dan transformasi yang ada dalam proses. Umpan balik yang akurat maka menunjukkan hasil evaluasi yang akurat juga, dan akan memudahkan kegiatan perbaikan proses pendidikan (Dimjati, Mudjiono : 1999 : 193). Evaluasi pendidikan agama merupakan kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan siswa dalam pendidikan agama islam, selain itu evaluasi juga sebagai pengukur, sampai dimana penguasaan murid terhadap bahan pelajaran yang telah diberikan. Adapun ruang lingkup kegiatan evaluasi pendidikan agama mencakup penilaian terhadap kemajuan belajar (hasil belajar) murid dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap setelah mengikuti program pengajaran. Pendidikan agama sebagai suatu sistem evaluasi yang merupakan komponen, disamping materi/bahan, kegiatan belajar mengajar, alat pelajaran, sumber dan metode, yang semuanya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan dalam prosedur evaluasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Zuhairini : 1993 : 154). C. Tinjauan Tentang Keberhasilan Belajar 1. Pengertian Belajar Belajar merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan (Muhibbin Syah : 2001 : 59). Sedangkan menurut Syaiful Bahri Djamarah belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat pengalaman dan latihan (Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain : 1995 : 11). Sedangkan mengajar adalah memberikan pengetahuan kepada anak, agar mereka dapat mengetahui peristiwa-peristiwa, hukum atau proses dari pada ilmu pengetahuan (Zuhairini dkk : 1993 : 27). Belajar merupakan kegiatan yang berproses serta memiliki unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, hal ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan yang tergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri. Pemahaman tentang belajar sangat dipengaruhi oleh bentuk dan manifestasi yang mutlak dibutuhkan oleh para pendidik khususnya para guru. Kekeliruan terhadap proses belajar akan berakibat kurang bermutunya hasil pembelajaran yang telah dicapai oleh peserta didik. Namun sebagian orang akan beranggapan bahwa belajar semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran yang dijarkan oleh guru. Belajar juga disebut sebagai latihan belaka seperti yang tampak pada latihan membaca dan menulis. Bertitik tolak dari pengertian kegiatan belajar mengajar dapat ditarik kesimpulan bahwa keberhasilan kegiatan belajar mengajar adalah wujud nyata pencapaian tujuan secara kuantitas maupun secara kualitas dari serangkaian kegiatan guru dan siswa yang berlangsung dalam hubungan timbal balik untuk mencapai tujuan secara bersama-sama yang berlangsung dalam situasi edukatif. Pendidikan yang baik sebagaimana diharapkan oleh masyarakat modern dewasa ini mengharuskan adanya pendidik yang baik, di sekolah diperlukan guru yang baik pula akan tetapi dengan ketiadaan pegangan tentang persyaratan pendidikan profesional, maka hal ini menyebabkan berbagai tafsiran orang tentang arti guru yang sebenarnya, tegasnya guru yang profesional. Ada yang menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang lebih ketat, supervisi yang efisien dan efektif. Keberhasilan dari suatu kegiatan sangat ditentukan oleh perencanaan. Apabila perencanaan atau suatu kegiatan dirancang dengan baik maka kegiatan akan lebih mudah dilaksanakan, terarah dengan baik. Demikian pula dengan halnya dalam proses belajar mengajar, agar pelaksanaan pembelajaran terlaksana dengan baik maka diperlukan perencanaan dengan baik pula. Kompetensi guru meliputi kompetensi personal, kompetensi profesional, kompetensi sosial, kompetensi intelektual, dan kompetensi spritual dengan mendidik, mengajar dan melatih (Mohammad Surya : 2004 : 92). Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada siswa. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai pembelajaran, pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tentang pendidikan dan tenaga pendidik seperti yang dimaksud dalam pasal 40 yang berbunyi. Pendidik dan tenaga pendidik berkewajiban sebagai berikut : a. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. b. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan ; dan c. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya (Undang-Undang Republik Indonesia : 2003 : 28). Guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagi guru. Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan walaupun kenyataannya terdapat dilakukan orang di luar pendidikan. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikannya, hendaknya dapat menjadikan motivasi bagi siswanya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilannya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu pada siswa. Para siswa akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik pelajarannya tidak dapat diserap sehingga siswa mulai bosan menghadapi pelajaran yang diberikan oleh guru. Transpormasi diri terhadap kenyataan di kelas atau di masyarakat perlu dibiasakan sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengerti bila menghadapi guru. Masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat di lingkungannya karena dari seorang guru diharapakan masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan (Moh Uzer Usman : 1995 : 4). Agar dapat memenuhi tugasnya secara baik maka guru wajib memenuhi beberapa syarat. Adapun syaratnya sebagai berikut : a. Berijazah Tentu saja yang dimaksud dengan ijazah ialah yang dapat memberikan wewenang untuk menjalankan tugas sebagai guru di suatu sekolah tertentu. Pemerintah telah mengadakan berbagai sekolah dan kursus-kursus serta akademi yang khusus untuk mendidik orang-orang yang akan ditugaskan menjadi guru di berbagai sekolah, sesuai dengan ijazahnya masing-masing. Ijazah bukanlah semata-mata kertas saja. Ijazah adalah surat bukti yang menunjukkan bahwa seseorang telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan atau pekerjaan. Dapat dipastikan bahwa setiap orang yang berijazah itu dapat menjalankan tugasnya dengan baik, tiap-tiap orang membutuhkan pengalaman dalam pekerjaannya untuk memperbaiki dan mempertinggi hasil pekerjaannya. Juga kita mengetahui bahwa tiap-tiap orang berbeda-beda temperamin, watak, dan kepribadiannya. Hal itu menyebabkan hal dan kemajuan pekerjaan seseorang tidak sama pula. Ijazah yang sama tidak berarti bahwa cara dan hasil dari pekerjaan orang-orangnya sama pula. Biarpun demikian untuk menjadi seorang pendidik haruslah memiliki ijazah yang diperlukan. Itulah bukti bahwa yang bersangkutan telah mempunyai wewenang telah dipercayai oleh negara dan masyarakat untuk menjalankan tugasnya sebagai guru (Ngalim Purwanto : 1997 : 140). b. Keahlian Keahlian atau dengan istilah skill, adalah syarat mutlak yang menjamin hasil baik semua cabang pekerjaan guru, tidak ada tuntutan dari luar tentang keahlian mendidik yang ada ialah tuntutan dari dalam diri guru sendiri untuk menguasai ilmu dan kemampuan mendidik agar berhasil tugasnya. c. Kesusilaan dan Dedikasi Syarat ini penting dimiliki dalam melaksanakan tugas mendidik selain mengajar. Guru memberikan contoh kebaikan dan dedikasi tinggi dalam meningkatkan mutu mengajar (Ahmad Tafsir : 1992 : 80). d. Bertanggung Jawab Di dalam pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan selain membentuk manusia susila yang cakap, juga manusia yang bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Hal ini berarti bahwa guru harus berusaha mendidik anak-anak menjadi warga negara yang baik, warga negara yang menginsafi tugasnya sebagai warga negara. Sebagai warga negara dari suatu negara yang demokratis, harus turut serta memikul tanggung jawab atas kemajuan dan kemakmuran negara dan bangsanya. Pembentukan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab itu sungguh suatu tugas yang tidak mudah dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang berjiwa demokratis dan yang mempunyai tanggung jawab pula (Ngalim Purwanto : 1997 : 142). Jelaslah bahwa seorang guru harus bertanggung jawab. Sebagai seorang guru tentu saja pertama-tama harus bertanggung jawab kepada tugasnya sebagai guru yaitu mengajar dan mendidik anak-anak yang telah dipercayakan kepadanya. Di samping itu tidak boleh pula dilupakan tugas-tugas dan pekerjaan lain yang memerlukan tanggung jawabnya. Selain tugasnya sebagai guru di sekolah, guru pun merupakan anggota masyarakat yang mempunyai tugas dan kewajiban lain. Selanjutnya terdapat istilah-istilah lain yang berhubungan dengan profesi. Satu-satunya adalah profesional yang dimaknai sebagian orang yang melaksanakan profesi pendidikan minimal S-1 dan mengikuti pendidikan profesi atau lulus ujian profesi. Dengan cara demikian profesional dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Selanjutnya istilah ini kemudian berkembang menjadi istilah profesionalitas yang bermakna keprofesionalan seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Ketika dikaitkan dengan istilah guru, maka profesionalitas guru dapat dimaknai sebagai kecakapan dan keterampilan khusus yang dimiliki guru dalam proses belajar mengajar, dengan demikian guru yang berkualifikasi profesional, yaitu guru yang mengetahui secara mendalam tentang apa yang diajarkannya, cakap dalam cara mengajarkannya secara efektif dan efisien dan guru tersebut memiliki kepribadian yang mantap. Guru-guru yang direkrut oleh Sekolah adalah pendidik yang profesional dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja profesional yang disepakati bersama untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran peseta didik. Dalam proses pengambilan keputusan, kepala Sekolah mengimplementasikan proses secara demokratis, sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya. Sebagaimana Allah berfirman di dalam surat Al-Isra’ 84 yang berbunyi :             Artinya : Hendaklah bahwa setiap orang itu sebenarnya bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing maka Tuhanmu mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Q.S. Al-Isra’ : 84). 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Siswa Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kemampuan berpikir manusia dewasa ini telah banyak pula ditemukan dan dikembangkan beberapa metode pendekatan yang dapat diterapkan dalam sistem pendidikan (kegiatan belajar mengajar) dalam upaya mengantarkan anak didik (siswa) pada peningkatan hasil belajar yang maksimal. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain mengemukakan bahwa: Kegiatan belajar merupakan inti kegiatan dalam pendidikan. Segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar akan melibatkan semua komponen pengajaran, kegiatan belajar mengajar akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain : 2002 : 51). Dalam kegiatan belajar mengajar tersebut guru memegang peranan yang sangat pentig. Guru adalah kreator proses belajar mengajar dalam mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide dan kreativitasnya dalam batas dan norma yang ditegakkan secara konsisten. Tugas utama guru adalah mengembangkan potensi siswa secara maksimal sehingga terbentuk siswa yang berkualitas. Oleh sebab itu kegiatan belajar mengajar di kelas, ada dua kegiatan guru yang sangat erat kaitannya dan hanya dapat dibedakan tetapi sulit untuk dipisahkan. Kedua tersebut adalah kegiatan pengajaran dan kegiatan pengelolaan kelas. a. Menumbuhkan Sikap Kedisiplinan Belajar Sikap disiplin merupakan syarat terpenuhinya kreativitas belajar siswa. kedisiplinan hendaknya betul-betul ditanamkan pada diri anak dalam belajarnya. Hal ini karena keberadaan anak didik dalam belajar banyak dipengaruhi oleh faktor kedisiplinan. Berdisiplin selain akan membuat seseorang memiliki kecakapan mengenai cara belajar yang baik, juga merupakan suatu proses ke arah pembentukan watak yang baik, watak yang baik dalam diri seseorang—dalam hal ini, siswa akan menciptakan pribadi yang luhur. Disiplin merupakan salah satu sikap mental yang dengan kesadaran dan keinsyafannya mematuhi sesuatu aturan, diperlukan motivasi yang timbul dari dalam maupun dari luar. Motivasi dari luar bisa diupayakan penegakan sebuah tata tertib, peraturan sekolah dan sanksi bagi yang melanggarnya. Sedangkan motivasi dari dalam di antaranya bisa diupayakan melalui peningkatan gairah anak giat untuk belajar, sehingga anak akan dengan senang hati masuk ke sekolah, masuk kelas ketika selesai istirahat. Dalam konteks ini, maka agar anak giat belajar guru harus menguasai materi pelajaran dalam setiap tatap muka dengan siswa. Sehingga dari penguasaan materi pelajaran guru akan menjadi sangat berwibawa bagi anak dan akan senang mengikuti mata pelajaran yang di asuh oleh guru yang berwibawa tersebut. b. Meningkatkan Prestasi Belajar siswa Prestasi belajar yang baik dan optimal merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan di sekolah, di mana hal itu merupakan harapan dan dambaan dari setiap orang, baik itu dari siswa itu sendiri, guru maupun orang tua siswa. Prestasi belajar yang baik dan optimal tersebut harus bisa dicapai oleh anak didik dalam belajarnya. Prestasi belajar yang dimaksud di sini adalah hasil maksimal yang dicapai anak didik dalam belajar setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar. Di antara elemen penting dalam menunjang prestasi belajar anak adalah faktor guru. Eksistensi guru di sini sangatlah menentukan dalam menunjang prestasi belajar anak. Melalui penyampaian materi pelajaran dengan metode yang tepat oleh guru yang berwibawa, berkualitas dan sepenuhnya menguasai materi pelajaran yang disampaikanya, maka anak didik akan bersemangat dalam belajar, seterusnya ia akan menangkap dengan baik apa yang disampaikan oleh gurunya, paham isi dan maksudnya, dan terakhir akan mencapai hasil/prestasi belajar yang baik dalam ujian maupun dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk sikap, kepribadian dan tingkah laku yang terpuji.
Share this article :
 
Support : Petotu - All Rights Reserved
Template Created by Mastemplate Proudly powered by Blogger